Friday, February 9, 2018

Kartu Kuning Sang Presiden Dari Presiden "Mahasiswa"

Mahasiswa yang dikenal sebagai bagian dari pengontrol sang penguasa sudah sejak dahulu sering memantau pergerakan-pergerakan pemerintah yang dirasa beberapa programnya tidak memihak kepada rakyat. Apalagi bila kebijakan dari program tersebut malah memunculkan masalah baru yang membuat rakyat makin sengsara. Mahasiswa harus dapat terus bergerak secara progresif memantau semua kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Tentunya, pantauan tersebut dapat dilakukan dengan kajian-kajian dengan beberapa pakar terkait ataupun juga dengan curah pendapat antar sesama mahasiswa dengan data yang akurat dari instansi yang terkait dan bila memungkinkan dengan tinjauan langsung ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang aktual mengenai informasi yang ingin didapat.

Terakhir, Sang "Presma UI" atau yang biasa dikenal dengan Presiden Mahasiswa yaitu ketua dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengkritik Sang Presiden lewat "peluit" dan "kartu kuning nya". Bak sang pengadil lapangan hijau, Sang Presiden Mahasiswa dari Universitas terbaik di Indonesia ini menyampaikan peringatan kepada presiden jika sudah banyak pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi di masa pemerintahan nya dengan mengganjar kartu kuning kepadanya.   Yang berarti bila dilapangan hijau bila sekali lagi mendapatkan kartu kuning maka pemain tersebut harus dikeluarkan dari pertandingan.

Tiga point utama tuntutan dari BEM UI yaitu 1. Permasalahan gizi buruk di Asmat 2. Pengangkatan Gubernur dari anggota Polri aktif 3. Permendikti tentang Ormawa yang dirasa membatasi pergerakan mahasiswa. Tentu saja, banyak pro-kontra terhadap aspirasi dari ketiga point ini. Namun, hal yang paling banyak untuk dibahas yaitu masalah gizi buruk di Asmat.
Dalam pernyataan yang muncul dari beberapa media mengatakan apabila Presiden Jokowi akan memfasilitasi BEM UI ke Asmat memantau situasi disana agar dapat melihat langsung bagaimana dengan kejadian dan suasana yang terjadi disana. Presma UI yang menanggapi kabar itupun dengan sigap menanggapi mereka akan mengumpulkan uang sendiri untuk membantu mereka yang di Asmat.

Namun yang akan saya sorot disini adalah Kritik, Esensi, dan juga Etika berdemokrasi. Hal yang saya sedikit sayangkan yaitu tindakan yang dilakukan Sang Presma dilakukan pada forum tertinggi di tingkat Universitas. Apalagi sekelas Universitas Indonesia sebagai terbaik pertama versi kemenristekdikti. Sidang senat terbuka merupakan forum formal bagi para petinggi jabatan akademik hingga sampai ke tingkat mahasiswa untuk membahas suatu hal. Tepat pada momentum Dies Natalis UI hingga Sang Presiden pun hadir dalam memenuhi undangan rektor. Dan pula tak ketinggalan  stakeholder baik dari dalam maupun luar negeri. Kritik yang disampaikan Presma UI ditengah-tengah acara formal membuat paspampres segera bertindak untuk mendorong Sang Presma kebelakang sambil menurunkan kartu kuning yang diangkatnya. Tamu-tamu undangan secara langsung memfokuskan pandangan ke Sang Presma. Walaupun demikian, acara masih tetap berlanjut hingga selesai.

Ktitik bukan hal yang dilarang, bukan hal yang menyalahkan. Kritik yang dilakukan bersifat membangun sebagai citra kepedulian mahasiswa terhadap negaranya. Sah-sah saja bila mahasiswa menyampaikan aspirasinya.  Namun, etika berdemokrasi tetap dijunjung tinggi biar aspirasi yang disampaikan tidak menabrak moral-moral dan etika-etika dalam menyampaikan pendapat dimuka umum. Sehingga aspirasi yang disampaikan dari diberikan dengan baik dan diterima dengan baik pula.

Akan tetapi saya tak menyalahkan mahasiswa, pemerintah pula dalam hal ini saya rasa tak perlu terus-terusan membatasi jarak antara penguasa dan mahasiwa. Di tempat saya pun, bila RI1 ataupun RI2 datang pastilah mahasiswa yang ingin menyampaikan kajian nya ditempatkan di Ring ke3 pengamanan dari Sang Presiden. Ya kalo sejauh ini, mau mereka teriak teriak pakai Sound system sebesar gajah hamil pun tak kan terdengar. Tak pernah saya terdengar sang penguasa memberikan sedikit waktu luang dalam mendengar aspirasi mahasiswa. Petugas yang berjaga meminta aksi damai, padahal apalagi selain menyampaikan aksi damai dengan cuma memberikan aspirasi saja tak boleh. Giliran mereka memaksa untuk masuk malah dinilai mengancam keamanan.

Pemerintah haruslah membuka diri untuk mahasiswa, fasilitasi mahasiswa untuk bertatap muka, tebas semua batas yang menghalau bila pemerintah ingin terus menjalankan prinsip demokrasi santun. Buatkan program rembuk nasional mahasiswa, agendakan minimal 1 tahun sekali bertatap muka  dengan presiden bertemu menyampaikan aspirasi mereka dari tingkat daerah hingga pusat. Beri mereka solusi dan rekomendasi lanjutan atas apa yang mereka ingin sampaikan. Setelah rembuk nasional mahasiswa terus memantau tanggapan pemerintah atas apa yang disampaikan kedepan, terus dimonitor biar yang disampaikan tak hanya hitam diatas putih saja.

Biar aspirasi tidak menjadi basa-basi, 
hingga selesai berorganisasi tidak hanya sekedar mendapat sertifikat yang tak berarti.


M. Agung Akbar, S.Kep
Padang, 9 februari 2018

1 comment: