Thursday, December 6, 2018

Peran Perawat Somatik


Gambar terkait

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi di lingkungan sosial (sosiogenk) ketidakseimbangan salah satu dari ketiga factor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000). Adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam pelaksanaan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini diseluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia tahu 2006  sekitar 26 juta penduduknya mengalami gangguan jiwa dirasio populasi 1:4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang telah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenai realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data bank dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara menunjukkan bahwa hari-hari produktiv yang hilang atau Disability Adjusted Life Years (DALY’s) sekitar 8,1% dari global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produtivitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum pasien dipulangkan. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental, penyauran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai masyarakat yang mandiri dan berguna.
Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan terapi somatic, psikolog melakukan pemilihan klien berdasarkan hasil psikotes, kemampuan serta minat klien, sosial worker menjadi penghubung anatar klien dan keluarga serta lingkungan. Sedangkan okupasi terapis memberikan terapi kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sebagai sebuah tim perawat memberikan peran yang penting dalam mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilaksanakan oleh anggota tim sesuai dengan tujuan yang akan dicapai antara pasien dengan tim kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut para perawat system dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk melaksanakan tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multi profesi sekaligus mulai dari dokter, psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.

B.     Rumusan Masala
 Apa pengertian terapi somatic?
 Apa saja jenis – jenis terapi somatik?
  Apa saja terapi psikofarmaka?
  Bagaimana peran perawat dalam pemberian psikofarmaka?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian terapi somatic
2.      Untuk mengetahui jenis – jenis terapi somatik
3.      Untuk mengetahui terapi psikofarmaka
4.      Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian psikofarmaka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Terapi Somatic
Terapi somatik merupakan terapi yang diberikan apda klien dengan tujuan merubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dalam melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Terapi somatik telah banyak dilakukan kepada klien dengan gangguan jiwa. Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa, sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain.

B.     Jenis – jenis Terapi Somatik
1.      Pengikatan
Terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Tujuannya melindungi klien dan orang lain dari cidera fisik, khususnya bila terapi lain seperti perubahan lingkungan. dan strategi perilaku sudah tidak mempan.
Indikasi :
Klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan :
a.       Beresiko mencederai diri dan orang lain
b.      Mengalami toleransi dan tidak responsif lagi
c.       Klien bingung yang beresiko cidera atau jatuh
d.      Klien membutuhkan penurunan stimulus dan istirahat
e.       Klien membutuhkan bantuan mendapat rasa aman & pengendalian dirinya

Pengikatan membatasi mobilitas fisik tetapi bukan untuk menghukum klien. Harus disadari klien pengikatan membantu klien mengendalikan perilaku yang tidak dapat dikendalikan sendiri.
  
Tindakan keperawatan :
a.       Hargai hak azasi klien, lakukan :
1)      Identifikasi kejadian pencetus
2)      Observasi
3)      Buat rencana tindakan sesuai standar dan document
b.      Lindungi klien dari cidera fisik akibat pengikatan
c.       Sediakan lingkungan yang aman
d.      Jaga integritas biologis klien, dengan :
1)      Cek tanda vital secara rutin
2)      Mandikan & jaga kulit ttp bersih & kering
3)      Penuhi kebutuhan toileting
4)      Atur suhu ruangan tetap nyaman
5)      Beri posisi anatomis
6)      Periksa daerah ikatan
7)      Ganti posisi klien minimal tiap 2 jam
e.       Jaga harga diri klien, dengan :
1)      Pertahankan privacy klien
2)      Jangan memberi penjelasan yang bersifat merendahkan
3)      Tetap mempertahankan komunikasi verbal
4)      Staf yang merawat harus konsisten
5)      Staf yang menangani berjenis kelamin sama
6)      Lepaskan ikatan sesuai indikasi.

 Protokol pelapasan ikatan :
a.       Saat masih berbaring monitor tanda-tanda vital. Pastikan klien sudah dapat mengendalikan perilakunya
b.      Pastikan jumlah perawat cukup
c.       Lepaskan ikatan mulai dari ekstremitas yang tdk dominan
d.      Anjurkan klien untuk mobilisasi aktif
e.       Anjurkan klien bergerak secara bertahap
f.       Observasi perilaku klien
g.      Dokumentasikan kondisi klien

2.      Isolasi
Bentuk terapi ini dengan menempatkan klien sendiri di ruang tersendiri. Di indikasikan pada klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan tidak bisa dikendalikan dengan cara lain. Tidak dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial menyimpang.

a.       Prosedur Isolasi :
1)      Tunjuk seorang pemimpin
2)      Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada
3)      Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan ruangan
4)      Komunikasikan antar perawat
5)      Tangkap klien tanpa menyakiti
6)      Kendalikan perilaku agresif klien
7)      Pindahkan klien ke ruang isolasi
8)      Ganti pakaian dengan yang aman dan nyaman
9)      Pindahkan benda-benda yang membahayakan klien
10)  Buat rencana askep lanjutan
11)  Tetap pertahankan kontak dgn klien

b.      Setelah di ruang isolasi :
1)      Bantu pemenuhan KDM klien
2)      Observasi sesering mungkin
3)      Pertahankan komunikasi verbal
4)      Catat dan dokumentasikan hasil observasi
5)      Berikan umpan balik tentang perilaku klien
6)      Tetap berikan terapi yang lain
7)      Segera melepaskan klien dr ruang isolasi jika perilakunya mulai terkendali


3.      ECT ( Elektro Confulsive Therapy )
Bentuk terapi ini dengan menimbulkan kejang grand mall, dimana mengalirkan arus listrik melalui elektroda yg ditempelkan pd pelipis klien. Awalnya ditujkan untuk klien skizopreni, tetapi lebih cocok untuk gangguan afektif. Kontra indikasi : Tumor intra kranial, Kehamilan, Osteoporosis, Infarc miokard dan Asthma bronchiale.
a.       Peran perawat
1)      Persiapan :
a)      Tangani kecemasan klien
b)      Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
c)      Mempersiapkan inform concent
d)     Puasakan klien minima 6 jam
e)      Hentikan pemberian obat sblm ECT
f)       Lepaskan gigi palsu, kontak lens, dll
g)      Memakaikan pakaian yg longgar
h)      Membantu mengosongkan blass
2)      Pelaksanaan :
a)      Baringkan klien
b)      Siapkan alat
c)      Pasang bantalan gigi
d)     Sementara ECT dilakukan, tahan persendian dgn supel
e)      Setelah selesai, berikan bantuan nafas

3)      Setelah ECT :
a)      Observasi TTV sampai stabil
b)      Jaga keamanan klien
c)      Bila sudah sadar, orientasikan klien

Komplikasi dari pemberian tindakan ini :
a.       Lukasio dan dislokasi sendi
b.      Fraktur vetebra
c.       Robekan otot rahang
d.      Apnea
e.       Sakit kepal, mual dan nyeri otot
f.       Amnesia
g.      Bingung
h.      Demensia

4.      Fototerapi
Foto terapi atau terapi cahaya merupak terapi pemaparan cahaya terapeutik buatan kepada pasien yang kekuatannya 5-20 kali lebih terang dari pencahayaan dalam ruangan. Terapi ini berlangsung cepat dan dapat efektif. Pasien merasakan sembuh setelah 3-5 hari terapi dan kambuh bila terapi dihentikan.

5.    Terapi deprivasi tidur
Sebanyak 60% pasien depresi membaik segera setelah dilakukan satu malam deprivasi tidur total namun pasien dapat depresi kembali ketika mereka hanya tidur selama kurang dari 2 jam pada malam hari.

6.    Stimulasi magnetik transkranial
Stimulasi magnetik transkranial (SMT) adalah prosedur noninvasif memasukkan bidang magnetik yang berubah ke dalam otak untuk mempengaruhi aktifitas otak.

7.    Stimulasi saraf vagus
Stimulasi saraf vagus (SSV) mencakup penanaman suatu generator kecil (seukuran jarum jam) ke dada pasien melalui pembedahan. SSV hanya boleh digunakan secara klinis pada terapi epilepsi. Penggunaan SSV yang paling meyakinkan dalam psikiatri adalah pada terapi gangguan afektif terutama depresi.



C.    Terapi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta memadukan dengan alternatif terapi lainnya. Berdasarkan efek klinik, oat psikofarmaka dibagi menjadi golongan antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer).

1.      Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau psikotik lainnya). Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a.       Derivat fenotiazin
1)      Rantai samping alifatik
Contoh: Chlorpromazine (Largatil, ethibernal), Levomepromazine (Nozinan)
2)      Rantai samping piperazin
Contoh: Trifluoperazin (Stelazine), Perfenazin (Trilafon), Flufenazin (Anatensol)
3)      Rantai samping piperidin
Contoh: Thioridazin (Melleril)
b.      Derivat butirofenon
Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)
c.       Derivat thioxanten
Contoh: Klorprotixen (Taractan)
d.      Deribat dibenzoxasepin
Contoh: Loksapin
e.       Derivat difenilbutilpiperidin
Contoh Pimozide (Orap)
f.       Derivat benzamide
Contoh: Sulpirid (dogmatil)
g.      Derivat benzisoxazole
Contoh: Risperidon (Risperdal)
h.      Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
Contoh: Clozapin (Leponex)

Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat bervariasi dan bersifat individual. Efek samping yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut.
a.       Gangguan neurologik
1)      Gejala ekstrapiramidal
a)      Akatisia Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun tak enak.
b)      Distonia akut Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi), opistotonus (otot punggung tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke atas).
c)      Sindroma Parkinson/Parkinsonisme Terdapat rigiditas otot/fenomena roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d)     Diskinesia tardif Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagian tubuh/ kelompok otot tertentu yang biasanya timbul setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
2)      Sindroma neuroleptika maligna Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi, kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3)      Penurunan ambang kejang Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang mendapat antipsikotik.

b.      Gangguan otonom
1)      Hipotensi ortostatik/postural Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
2)      Gangguan sistem gastrointestinal Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare.
3)      Gangguan sistem urogenital Inkontinensia urine.
4)      Gangguan pada mata Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena terjadi mydriasis.
5)      Gangguan pada hidung Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh hidungnya mampet.

c.       Gangguan hormonal
1)      Hiperprolaktinemia
2)      Galactorrhoea
3)      Amenorrhoea
4)      Gynecomastia pada laki-laki

d.      Gangguan hematologi
1)      Agranulositosis
2)      Thrombosis
3)      Neutropenia

e.       Lain-lain
Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsi seksual, alergi, pigmentasi retina, dermatosis.

2.      Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a.       Golongan trisiklik
Contoh: Imipramin (Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl), Clomipramin (Anafranil)
b.      Golongan tetrasiklik
Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
c.       Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
d.      Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh: Setralin (Zoloft), Paroxetine (Seroxal), Fluoxetine (Prozax)

Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut. a. Gangguan pada sistem kardiovaskular.
1)      Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut.
2)      Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
3)      Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan trisiklik).
  
b.      Gangguan sistem atonom akibat efek antikolinergik.
Obstipasi, mulut dan tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.

3.      Antiansietas (Anxiolytic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin. Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a.       Derivat benzodiazepin
Contoh: Klordiazopoksid (Librium), Diazepam (Valium), Bromazepam (Lexotan), Lorazepam (Aktivan), Clobazam (Frisium), Alprazolam (Xanax), Buspiron (Buspar)
b.      Derivat gliserol
Contoh: Meprobamat (Deparon)
c.       Derivat barbitrat
Contoh: Fenobarbital (Luminal)

Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih. Obat-obat golongan ini tidak berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain atau dicampur alkohol. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah sebagai berikut.
a.       Rasa mengantuk yang berat.
b.      Sakit kepala.
c.       Disartria.
d.      Nafsu makan bertambah.
e.       Ketergantungan.
f.       Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).

4.      Antimanik (Mood Stabilizer)
Merupakan kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah kekambuhannya. Obat yang termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut.
a.       Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
b.      Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
c.       Asam Valproat

Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif antara 0,8–1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat toksik terutama terhadap ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut.
a.       Tremor halus
b.      Vertigo dan rasa lelah
c.       Diare dan muntah-muntah
d.      Oliguria dan anuria
e.       Konvulsi
f.       Kesadaran menurun
g.      Edema
h.      Ataksia dan tremor kasar

Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a.       Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
1)      Efek Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis dan otomatik, menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan antiemetik
2)      Efek samping Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.

3)      Tindakan keperawatan
Observasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan dan rasa aman kepada pasien, berada dekat pasien. Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obat antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan dopamin agonis untuk mengatasi parkinson.
4)      Cara pemberian: per oral

b.      Golongan Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)
1)      Efek Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik yang kuat.
2)      Efek samping
a)      Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering, penglihatan kabur.
b)      Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien berusia di atas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
3)      Tindakan keperawatan
a)      Untuk efek antikolinergik
Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan, dan beri aktivitas untuk mencegah konstipasi. Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk mengembangkan pembuluh darah dan beritahu pasien untuk berpindah posisi perlahanlahan untuk mengontrol hipotensi orthostatik. Beri pelembap mulut secara berkala untuk mengurangi rasa kering, misalnya gliserin. Anjurkan pasien untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya, benda tajam, dan tidak bepergian untuk mengurangi kecelakaan akibat adanya kekaburan pandangan. Kolaborasi: pemberian kolinergik agonis dan laksatif.

b)      Untuk efek ekstrapiramidal
Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol. Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum tidur atau dengan cara lain. Cara pemberian: per oral
c.       Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek ekstrapiramidal. Cara pemberian: per oral

D.    Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka
Peran perawat dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut.
1.      Mengumpulkan data sebelum pengobatan.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian, waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini agar asuhan yang diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan.
2.      Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan hasil yang lebih baik.
3.      Pendidikan kesehatan.
Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu lagi minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali di rumah sakit.
4.      Memonitor efek samping obat.
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai pemberian obat yang optimal.
5.      Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan tiap dosis obat pasien, serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping obat. Dalam melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6.      Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat di rumah sakit maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7.      Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu program terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan serta bersama pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
8.      Ikut serta dalam riset interdisipliner Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus digali.

Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien curiga, risiko bunuh diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut.
1.      Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan pada pasien ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien. Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya, “Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan obat ini dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini terutama pada pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan darurat.

2.      Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam pemberian obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien ingin merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati. Perawat menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian perawat merupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup. Dalam hal ini, peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.

3.      Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap obat adalah hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, perawat perlu memberikan penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalahmasalah sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan.

Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk melaksanakan peran perawat dalam pemberian obat.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Salah satu somatic terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah Chlorpromasin, Halloperidon, dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi, pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi. Untuk menghindari hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek dari pemberian obat psikofarmaka.

B.     Saran
Pembelajaran tentang peran perawat pada terapi somatic dan psikofarmaka harus ditanamkan kepada mahasiswa keperawatan sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih memahami, dan diharapkan makalah ini dikritik dan diberikan saran sehingga makalah kami dapat disempurnakan.



DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. dkk. 2007. Advance Course Community Mental health Nursing. Manajemen Community Health Nursing Dstric Level: Jakarta
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

No comments:

Post a Comment