BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan
keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa
terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta
dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi di lingkungan sosial
(sosiogenk) ketidakseimbangan salah satu dari ketiga factor tersebut dapat
mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000). Adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam pelaksanaan peran sosial. WHO
memperkirakan saat ini diseluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan
jiwa, di Indonesia tahu 2006 sekitar 26
juta penduduknya mengalami gangguan jiwa dirasio populasi 1:4 penduduk.
Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang telah menjadi pasien
rumah sakit jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal
sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan gejala sisa
seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenai realitas, serta
perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan produktivitas hidup. Hal
ini ditunjang dengan data bank dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara
menunjukkan bahwa hari-hari produktiv yang hilang atau Disability Adjusted Life Years (DALY’s) sekitar 8,1% dari global Burden of Disease, disebabkan oleh
masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan
produtivitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum
pasien dipulangkan. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental,
penyauran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam
hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai masyarakat
yang mandiri dan berguna.
Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh multi profesi yang terdiri
dari dokter, perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang
memiliki peran dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan terapi somatic,
psikolog melakukan pemilihan klien berdasarkan hasil psikotes, kemampuan serta
minat klien, sosial worker menjadi penghubung anatar klien dan keluarga serta
lingkungan. Sedangkan okupasi terapis memberikan terapi kerja bagi pasien.
Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sebagai
sebuah tim perawat memberikan peran yang penting dalam mengkoordinasikan
berbagai cara dan kerja yang dilaksanakan oleh anggota tim sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai antara pasien dengan tim kesehatan sehingga rehabilitasi
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut para perawat system dan budaya
kerja yang ada tidak memungkinkan untuk melaksanakan tersebut, sehingga perawat
mengerjakan tugas multi profesi sekaligus mulai dari dokter, psikolog, sosial
worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian.
B.
Rumusan
Masala
Apa pengertian terapi
somatic?
Apa saja jenis – jenis terapi somatik?
Apa saja terapi psikofarmaka?
Bagaimana peran
perawat dalam pemberian psikofarmaka?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian
terapi somatic
2. Untuk mengetahui jenis – jenis terapi somatik
3. Untuk mengetahui terapi
psikofarmaka
4.
Untuk mengetahui
peran
perawat dalam pemberian psikofarmaka
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Terapi Somatic
Terapi
somatik merupakan terapi yang diberikan apda klien dengan tujuan merubah
perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dalam melakukan tindakan
dalam bentuk perlakuan fisik. Terapi somatik telah banyak dilakukan kepada
klien dengan gangguan jiwa. Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang
ditimbulkan akibat gangguan jiwa, sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu
sistem tubuh lain.
B.
Jenis – jenis Terapi Somatik
1.
Pengikatan
Terapi dengan menggunakan alat-alat
mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Tujuannya melindungi
klien dan orang lain dari cidera fisik, khususnya bila terapi lain seperti
perubahan lingkungan. dan strategi perilaku sudah tidak mempan.
Indikasi :
Klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan :
a. Beresiko mencederai diri dan orang
lain
b. Mengalami toleransi dan tidak
responsif lagi
c. Klien bingung yang beresiko cidera
atau jatuh
d. Klien membutuhkan penurunan stimulus
dan istirahat
e. Klien membutuhkan bantuan mendapat
rasa aman & pengendalian dirinya
Pengikatan membatasi mobilitas fisik
tetapi bukan untuk menghukum klien. Harus disadari klien pengikatan membantu
klien mengendalikan perilaku yang tidak dapat dikendalikan sendiri.
Tindakan keperawatan :
a. Hargai hak azasi klien, lakukan :
1) Identifikasi kejadian pencetus
2) Observasi
3) Buat rencana tindakan sesuai standar
dan document
b. Lindungi klien dari cidera fisik
akibat pengikatan
c. Sediakan lingkungan yang aman
d. Jaga integritas biologis klien,
dengan :
1) Cek tanda vital secara rutin
2) Mandikan & jaga kulit ttp bersih
& kering
3) Penuhi kebutuhan toileting
4) Atur suhu ruangan tetap nyaman
5) Beri posisi anatomis
6) Periksa daerah ikatan
7) Ganti posisi klien minimal tiap 2
jam
e. Jaga harga diri klien, dengan :
1) Pertahankan privacy klien
2) Jangan memberi penjelasan yang
bersifat merendahkan
3) Tetap mempertahankan komunikasi
verbal
4) Staf yang merawat harus konsisten
5) Staf yang menangani berjenis kelamin
sama
6) Lepaskan ikatan sesuai indikasi.
Protokol pelapasan ikatan :
a. Saat masih berbaring monitor
tanda-tanda vital. Pastikan klien sudah dapat mengendalikan perilakunya
b. Pastikan jumlah perawat cukup
c. Lepaskan ikatan mulai dari
ekstremitas yang tdk dominan
d. Anjurkan klien untuk mobilisasi
aktif
e. Anjurkan klien bergerak secara
bertahap
f. Observasi perilaku klien
g. Dokumentasikan kondisi klien
2.
Isolasi
Bentuk terapi ini dengan menempatkan
klien sendiri di ruang tersendiri. Di indikasikan pada klien yang tidak mampu
mengendalikan perilakunya dan tidak bisa dikendalikan dengan cara lain. Tidak
dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan
pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial
menyimpang.
a. Prosedur Isolasi :
1) Tunjuk seorang pemimpin
2) Perlihatkan kepada klien kekuatan
yang ada
3) Buat rancangan yang tepat, siapkan
lingkungan ruangan
4) Komunikasikan antar perawat
5) Tangkap klien tanpa menyakiti
6) Kendalikan perilaku agresif klien
7) Pindahkan klien ke ruang isolasi
8) Ganti pakaian dengan yang aman dan
nyaman
9) Pindahkan benda-benda yang
membahayakan klien
10) Buat rencana askep lanjutan
11) Tetap pertahankan kontak dgn klien
b. Setelah di ruang isolasi :
1) Bantu pemenuhan KDM klien
2) Observasi sesering mungkin
3) Pertahankan komunikasi verbal
4) Catat dan dokumentasikan hasil
observasi
5) Berikan umpan balik tentang perilaku
klien
6) Tetap berikan terapi yang lain
7) Segera melepaskan klien dr ruang
isolasi jika perilakunya mulai terkendali
3.
ECT ( Elektro Confulsive Therapy )
Bentuk terapi ini dengan menimbulkan
kejang grand mall, dimana mengalirkan arus listrik melalui elektroda yg
ditempelkan pd pelipis klien. Awalnya ditujkan untuk klien skizopreni, tetapi
lebih cocok untuk gangguan afektif. Kontra indikasi : Tumor intra kranial, Kehamilan,
Osteoporosis, Infarc miokard dan Asthma bronchiale.
a. Peran perawat
1) Persiapan :
a) Tangani kecemasan klien
b) Lakukan pemeriksaan fisik dan
laboratorium
c) Mempersiapkan inform concent
d) Puasakan klien minima 6 jam
e) Hentikan pemberian obat sblm ECT
f) Lepaskan gigi palsu, kontak lens,
dll
g) Memakaikan pakaian yg longgar
h) Membantu mengosongkan blass
2) Pelaksanaan :
a) Baringkan klien
b) Siapkan alat
c) Pasang bantalan gigi
d) Sementara ECT dilakukan, tahan
persendian dgn supel
e) Setelah selesai, berikan bantuan
nafas
3) Setelah ECT :
a) Observasi TTV sampai stabil
b) Jaga keamanan klien
c) Bila sudah sadar, orientasikan klien
Komplikasi dari pemberian tindakan
ini :
a. Lukasio dan dislokasi sendi
b. Fraktur vetebra
c. Robekan otot rahang
d. Apnea
e. Sakit kepal, mual dan nyeri otot
f. Amnesia
g. Bingung
h. Demensia
4.
Fototerapi
Foto
terapi atau terapi cahaya merupak terapi pemaparan cahaya terapeutik buatan
kepada pasien yang kekuatannya 5-20 kali lebih terang dari pencahayaan dalam
ruangan. Terapi ini berlangsung cepat dan dapat efektif. Pasien merasakan
sembuh setelah 3-5 hari terapi dan kambuh bila terapi dihentikan.
5.
Terapi
deprivasi tidur
Sebanyak
60% pasien depresi membaik segera setelah dilakukan satu malam deprivasi tidur
total namun pasien dapat depresi kembali ketika mereka hanya tidur selama
kurang dari 2 jam pada malam hari.
6.
Stimulasi
magnetik transkranial
Stimulasi
magnetik transkranial (SMT) adalah prosedur noninvasif memasukkan bidang
magnetik yang berubah ke dalam otak untuk mempengaruhi aktifitas otak.
7.
Stimulasi
saraf vagus
Stimulasi
saraf vagus (SSV) mencakup penanaman suatu generator kecil (seukuran jarum jam)
ke dada pasien melalui pembedahan. SSV hanya boleh digunakan secara klinis pada
terapi epilepsi. Penggunaan SSV yang paling meyakinkan dalam psikiatri adalah
pada terapi gangguan afektif terutama depresi.
C.
Terapi
Psikofarmaka
Psikofarmaka
adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat. Efek
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan
farmakokinetik khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien
gangguan jiwa. Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar
dapat mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi
dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta memadukan dengan alternatif
terapi lainnya. Berdasarkan efek klinik, oat psikofarmaka dibagi menjadi
golongan antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood
stabilizer).
1. Antipsikotik
Obat
ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat
golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau
psikotik lainnya). Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a. Derivat
fenotiazin
1) Rantai
samping alifatik
Contoh: Chlorpromazine
(Largatil, ethibernal), Levomepromazine (Nozinan)
2) Rantai
samping piperazin
Contoh: Trifluoperazin
(Stelazine), Perfenazin (Trilafon), Flufenazin (Anatensol)
3) Rantai
samping piperidin
Contoh: Thioridazin
(Melleril)
b. Derivat
butirofenon
Contoh: Haloperidol
(Haldol, Serenace)
c. Derivat
thioxanten
Contoh:
Klorprotixen (Taractan)
d. Deribat
dibenzoxasepin
Contoh:
Loksapin
e. Derivat
difenilbutilpiperidin
Contoh
Pimozide (Orap)
f. Derivat
benzamide
Contoh:
Sulpirid (dogmatil)
g. Derivat
benzisoxazole
Contoh:
Risperidon (Risperdal)
h. Derivat
dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
Contoh:
Clozapin (Leponex)
Efek utama obat antipsikotik adalah
menyupresi gejala psikotik seperti gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi
(halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan juga
memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya efek
samping sangat bervariasi dan bersifat individual. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain sebagai berikut.
a. Gangguan
neurologik
1) Gejala
ekstrapiramidal
a) Akatisia
Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun tak enak.
b) Distonia
akut Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot leher
tertarik ke satu sisi), opistotonus (otot punggung tertarik ke belakang), dan
okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke atas).
c) Sindroma
Parkinson/Parkinsonisme Terdapat rigiditas otot/fenomena roda bergerigi, tremor
kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d) Diskinesia
tardif Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagian tubuh/
kelompok otot tertentu yang biasanya timbul setelah pemakaian antipsikotik
jangka lama.
2) Sindroma
neuroleptika maligna Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya
febris tinggi, kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan
penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi antipsikotik
golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3) Penurunan
ambang kejang Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang mendapat
antipsikotik.
b. Gangguan
otonom
1) Hipotensi
ortostatik/postural Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya
dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh atau
syok/kesadaran menurun.
2) Gangguan
sistem gastrointestinal Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare.
3) Gangguan
sistem urogenital Inkontinensia urine.
4) Gangguan
pada mata Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena terjadi
mydriasis.
5) Gangguan
pada hidung Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh hidungnya
mampet.
c. Gangguan
hormonal
1) Hiperprolaktinemia
2) Galactorrhoea
3) Amenorrhoea
4) Gynecomastia
pada laki-laki
d. Gangguan
hematologi
1) Agranulositosis
2) Thrombosis
3) Neutropenia
e. Lain-lain
Dapat terjadi ikterus
obstruktif, impotensia/disfungsi seksual, alergi, pigmentasi retina,
dermatosis.
2.
Antidepresan
Merupakan
golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan
gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter
norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
a. Golongan
trisiklik
Contoh: Imipramin
(Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl), Clomipramin (Anafranil)
b. Golongan
tetrasiklik
Contoh: Maprotilin
(Ludiomil)
c. Golongan
monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh:
Rima/Moclobemide (Auroric)
d. Golongan
serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh: Setralin
(Zoloft), Paroxetine (Seroxal), Fluoxetine (Prozax)
Untuk
gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan
penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan. Efek samping yang
sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai berikut. a. Gangguan
pada sistem kardiovaskular.
1) Hipotensi,
terutama pada pasien usia lanjut.
2) Hipertensi
(sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
3) Perubahan
pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan trisiklik).
b. Gangguan
sistem atonom akibat efek antikolinergik.
Obstipasi, mulut dan
tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
3.
Antiansietas
(Anxiolytic Sedative)
Obat
golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa
banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek
sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada
golongan Benzodiazepin. Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Derivat
benzodiazepin
Contoh: Klordiazopoksid
(Librium), Diazepam (Valium), Bromazepam (Lexotan), Lorazepam (Aktivan),
Clobazam (Frisium), Alprazolam (Xanax), Buspiron (Buspar)
b. Derivat
gliserol
Contoh: Meprobamat
(Deparon)
c. Derivat
barbitrat
Contoh: Fenobarbital
(Luminal)
Obat-obat golongan Benzodiazepam paling
banyak disalahgunakan karena efek hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam
pemakaian dosis yang berlebih. Obat-obat golongan ini tidak berefek fatal pada
overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain
atau dicampur alkohol. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah sebagai
berikut.
a. Rasa
mengantuk yang berat.
b. Sakit
kepala.
c. Disartria.
d. Nafsu
makan bertambah.
e. Ketergantungan.
f. Gejala
putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).
4. Antimanik (Mood
Stabilizer)
Merupakan
kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar terutama
episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah kekambuhannya. Obat yang
termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut.
a. Golongan
garam lithium (Teralith, Priadel)
b. Karbamazepin
(Tegretol, Temporol)
c. Asam
Valproat
Hal
yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif
antara 0,8–1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat
toksik terutama terhadap ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan antara
lain sebagai berikut.
a. Tremor
halus
b. Vertigo
dan rasa lelah
c. Diare
dan muntah-muntah
d. Oliguria
dan anuria
e. Konvulsi
f. Kesadaran
menurun
g. Edema
h. Ataksia
dan tremor kasar
Berbagai
obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Golongan
Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
1) Efek
Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis dan otomatik,
menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan antiemetik
2) Efek
samping Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.
3) Tindakan
keperawatan
Observasi ketat tingkah
laku pasien, beri dukungan dan rasa aman kepada pasien, berada dekat pasien.
Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obat
antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan dopamin agonis untuk mengatasi
parkinson.
4) Cara
pemberian: per oral
b. Golongan
Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)
1) Efek
Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik yang
kuat.
2) Efek
samping
a) Efek
antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering, penglihatan
kabur.
b) Efek
ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien berusia di atas 40
tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
3) Tindakan
keperawatan
a) Untuk
efek antikolinergik
Observasi bising usus,
beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan, dan beri aktivitas untuk
mencegah konstipasi. Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk
mengembangkan pembuluh darah dan beritahu pasien untuk berpindah posisi
perlahanlahan untuk mengontrol hipotensi orthostatik. Beri pelembap mulut
secara berkala untuk mengurangi rasa kering, misalnya gliserin. Anjurkan pasien
untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya, benda tajam, dan tidak bepergian
untuk mengurangi kecelakaan akibat adanya kekaburan pandangan. Kolaborasi:
pemberian kolinergik agonis dan laksatif.
b) Untuk
efek ekstrapiramidal
Prinsip tindakan sama
dengan pada pemberian haloperidol. Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi
susu hangat sebelum tidur atau dengan cara lain. Cara pemberian: per oral
c. Trihexifenidil
yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek ekstrapiramidal. Cara pemberian:
per oral
D.
Peran
Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka
Peran perawat dalam
penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut.
1. Mengumpulkan
data sebelum pengobatan.
Dalam
melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang pengetahuan
biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain riwayat
penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan,
riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian, waktu
pemberian), dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien.
Pengumpulan data ini agar asuhan yang diberikan bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan.
2. Mengoordinasikan
obat dengan terapi modalitas.
Hal
ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan
terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan
hasil yang lebih baik.
3. Pendidikan
kesehatan.
Pasien
di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat yang
diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak ada
manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga
karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu lagi
minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali di
rumah sakit.
4. Memonitor
efek samping obat.
Seorang
perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi lain
yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai
pemberian obat yang optimal.
5. Melaksanakan
prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran
ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik obat dan
meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam tim
kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan tiap dosis
obat pasien, serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping obat. Dalam
melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6. Melaksanakan
program pengobatan berkelanjutan.
Dalam
program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien dengan fasilitas
kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat di rumah sakit
maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya
puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan
dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan
dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat dapat
diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu program
terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan serta bersama
pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
8. Ikut
serta dalam riset interdisipliner Sebagai
profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat berperan
sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti utama.
Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian
obat untuk pasien curiga, risiko bunuh diri, dan ketergantungan obat adalah
sebagai berikut.
1. Pendekatan
khusus pada pasien curiga.
Pada
pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang
diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan
pada pasien ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien. Secara
verbal dan nonverbal perawat harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak
menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri
perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien. Selain itu perawat harus bersikap
jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, misalnya, “Bapak J, ini adalah
obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, “Letakkan obat ini dalam
mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan yang sama setiap kali
memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika ada perubahan
dosis atau cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien sebelum
meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan
dengan cara meminta pasien untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat
apakah obat disembunyikan. Hal ini terutama pada pasien yang mempunyai riwayat
kecenderungan menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya. Untuk pasien
yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah diberikan pendekatan yang
adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter
yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan memperhatikan aspek legal dan
hak-hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan darurat.
2. Pendekatan
khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
Pada
pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam pemberian obat
adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien ingin merusak
dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan pasien untuk minum obat
karena pasien pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup
dan mati. Perawat menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat
pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri
hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian perawat
merupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup. Dalam
hal ini, peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan
keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.
3. Pendekatan
khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada
pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap obat adalah hal
yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, perawat perlu memberikan
penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya
cara untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan
masalahmasalah sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan
lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti
penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan.
Dalam
uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi kasus
yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk melaksanakan peran
perawat dalam pemberian obat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu somatic terapi (terapi fisik) pada klien
gangguan jiwa adalah pemberian obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah
besar obat farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental.
Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah
Chlorpromasin, Halloperidon, dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan
selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga
mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing,
sedasi, pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi. Untuk menghindari
hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan
pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi
klien terutama efek dari pemberian obat psikofarmaka.
B.
Saran
Pembelajaran
tentang peran perawat pada terapi somatic dan psikofarmaka harus
ditanamkan kepada mahasiswa keperawatan sedini
mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih memahami, dan diharapkan makalah ini dikritik dan diberikan
saran sehingga makalah kami dapat disempurnakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Keliat, B.A. dkk. 2007. Advance Course Community
Mental health Nursing. Manajemen Community Health Nursing Dstric Level: Jakarta
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
No comments:
Post a Comment