Wednesday, October 31, 2018

Konsep Efusi Pleura ec. Kanker Bronkogenik dan Asuhan Keperawatan nya


Hasil gambar untuk efusi pleura
EFUSI PLEURA EC. CANCER BRONKOGENIK
A.  Laporan Teoritis
1.    Definisi
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan.
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Akumulasi cairan pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain infeksi dan kasus keganasan di paru atau organ luar paru. Efusi pleura ganas (EPG) sering terjadi pada kasus kanker dan merupakan salah satu faktor penyulit pada penatalaksanaan kanker paru. Pada kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) dengan EPG diklasifikasikan sebagai stage IIIB ( T4NxMx) yang prognosisnya tidak dapat disamakan dengan stage IIIB lain tanpa EPG. Penampakan EPG pada KPKBSK menggambarkan kondisi terminal (end stage) penyakit keganasan dengan prognosis buruk tetapi penatalaksanaan EPG yang baik dapat meningkatkan kualiti hidup penderita. Kanker lain yang juga sering menyebabkan EPG adalah limfoma, kanker payudara, kanker bronkogenik, kanker sistem gastrointestinal dan genitourinaria.

2.    Etiologi
Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,kanker, dan virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar yaitu peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik, penurunan tekanan osmotic koloid darah, peningkatan tekanan negative intrapleural, dan adanya inflamasi atau neoplastik pleura.
Penyebab lain dari efusi pleura adalah: Gagal jantung, Kadar protein yang rendah, sirosis, pneumonia, blastomikosis, koksidioidomikosis, tuberkulosis, histoplasmosis, kriptokokosis, abses dibawah diafragma, artritis rematoid, pankreatitis, emboli paru, tumor, lupus eritematosus sistemik, pembedahan jantung, cedera di dada, obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin,klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin), Pemasangan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

3.    Manifestasi Klinis
Pada anamnesis kecuali gejala klinis seperti sesak napas yang berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan klinis yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks dan organ luar toraks lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan tepat. Faktor risiko untuk penyakit keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat analisis, misalnya laki-laki usia lebih dari 40 tahun dan perokok atau perempuan dengan riwayat pernah dikemoterapi untuk kanker payudara. Kebanyakan kasus EPG simptomatis meskipun sekitar 15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500ml.7-19 Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika volume cairan sangat banyak.20-22 Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan (compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.
Estenne dkk menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perubahan fungsi paru pada penderita EPG misalnya perubahan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat menjelaskan mekanisme sesak. Mereka membuat hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks oleh cairan. Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal terutama pada mesotelioma, batuk, batuk darah (pada karsinoma bronkogenik), anoreksia dan berat badan turun.
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab pasti kanker paru belum diketahui, tetapi pajanan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Beberapa kepustakaan telah menyebutkan bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Beberapa penelitian telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan dengan tidak merokok. Asap rokok mengandung sekitar 60 macam karsinogen yang dapat menyebabkan mutasi DNA

4.    Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
 Pemeriksaan fisis bukan hanya berguna untuk menentukan lokasi dan perkiraan volume cairan saja, tetapi untuk menemukan kelainan lain di tubuh penderita, misalnya tumor di daerah leher, supraklavikula, aksila, payudara, dinding dada, intraabdomen atau pembesaran prostat pada laki-laki. Dengan pemeriksaan yang teliti juga dapat memprediksi kegawatan, misalnya tandatanda sindrom vena kava superior (SVCS), karena penekanan oleh tumor. Tanda-tanda yang dapat ditemukan antara lain edema pada wajah dan lengan kanan disertai peningkatan tekanan vena jugularis dan tampak venektasi di dada. Masalah SVCS sering terjadi pada tumor paru dan mediastinum yang kadang membutuhkan penatalaksanaan segera meskipun diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.
a.    Pencitraan
Foto toraks posteroanterior (PA) dibutuhkan untuk menyokong dugaan efusi pleura pada pemeriksaan fisis dan jika volume cairan tidak terlalu banyak dibutuhkan foto toraks lateral untuk menentukan lokasi cairan secara lebih tepat. Rerata volume paru kebanyakan kasus EPG adalah 500-2000ml. Etiologi keganasan harus dipikirkan bila didapatkan volume efusi pleura sangat banyak dan dikategorikan masif atau pada foto toraks meskipun jumlah cairan masif tetapi tidak terlihat pendorongan mediastinum.
 Pada kasus dengan jumlah cairan sedikit atau penyulit lain, USG toraks sangat membantu untuk memastikan cairan dan sekaligus memberikan penanda (marker) lokasi untuk torakosentesis dan biopsi pleura. Pada EPG dengan volume cairan sedikit dan tidak terlihat pada foto toraks dapat dideteksi dengan CT-scan toraks dan sekaligus dapat melihat kelainan di parenkim paru serta mediastinum dan pembesaran kelenjar getah bening. Magnetic resonance imaging (MRI) tidak terlalu dibutuhkan kecuali untuk evaluasi keterlibatan dinding dada atau ekstensi transdiafragmatik pada kasus mesotelioma dan prediksi untuk pembedahan. Positron emission tomography (PET) scan selalu positif pada EPG tetapi peran utamanya adalah untuk evaluasi stadium lanjut mesotelioma ganas.

b.    Torakosentesis, biopsi pleura dan pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosis pasti EPG adalah dengan penemuan sel ganas pada cairan pleura (sitologi) atau jaringan pleura (histologi patologi). Jumlah cairan pleura yang dibutuhkan untuk mendapatkan sel ganas pada EPG, hasil akurat masih bervariasi. Sallact dkk meneliti kepositifan sitologi berdasarkan volume cairan yang diperiksa (0,2-10ml, 15-80ml, 100-775ml dan 800-2800ml) dan sensitiviti untuk masing-masing kelompok adalah 53.9%, 52%, 46,9% dan 63,3%. Mereka juga mendapatkan persentase hasil positif dipengaruhi asal tumor, 51,6% pasien dengan tumor intratoraks primer dan 48% pada kasus metastasis tumor. Akurasi hasil sitologi ini dapat ditingkatkan dengan melakukan torakosentesis ulang. Meskipun terlihat sederhana prosedur punksi dan biopsi pleura harus dilakukan oleh dokter yang telah mempunyai kompetensi untuk itu, mengingat risiko ringan hingga fatal yang dapat saja terjadi.
c.    Bronkoskopi
Jika dengan pencitraan tidak ditemukan tumor primer intratoraks maka perlu dilakukan bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilihat tanda keganasan (mukosa infiltratif atau tumor primer) pada lumen bronkus atau penekanan dinding bronkus oleh massa sentral di rongga toraks. Dengan menggunakan bronkoskop light imaging fluorescence endoscopy (LIFE) bahkan dapat dideteksi lesi praneoplastik. Penting diingat sebaiknya bronkoskopi dilakukan setelah usaha pengurangan volume cairan pleura telah dilakukan dengan maksimal sehingga observasi intrabronkus dapat maksimal dan tidak terganggu dengan obstruksi kompresi akibat tekanan efusi pleura yang masif.
d.   Torakoskopi medis
Indikasi torakoskopi medik adalah untuk mengevaluasi efusi eksudatif yang tidak diketahui penyebabnya, menentukan stage mesotelioma dan kanker paru, terapi EPG dan efusi pleura rekuren. Teknik torakoskopi hampir sama dengan prosedur video-assisted thoracic surgery (VATS) tetapi lebih sederhana, kurang invasif dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau dengan sedasi. Prosedur VATS dengan biopsi pleura dapat meningkatkan kepastian diagnosis lebih dari 90%.
Hal lain yang perlu diingat adalah untuk tidak terlalu memfokuskan perhatian hanya pada usaha pencarian tumor primer di paru dengan melupakan atau menunda-nunda pencarian kemungkinan primer di organ di luar paru. Pada kasus primer bukan di paru, prosedur diagnosis untu tumor primer harus melibatkan spesialisasi lain termasuk untuk penatalaksanaannya nanti. Apabila tumor primer di paru dapat ditemukan maka ditegakkan diagnosis kanker paru dengan stage yang sesuai. Jika tumor primer di paru tidak ditemukan tetapi pada organ lain ditemukan maka EPG didiagnosis dan diperlakukan sebagai metastasis tumor di paru. Pada beberapa kasus EPG dan tidak ditemukan tumor primer di paru maupun di luar paru maka dianggap EPG disebabkan oleh tumor paru. Ketentuan khusus di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan PDPI untuk hasil pemeriksaan patologi anatomi pada kasus EPG dengan tumor paru primer adalah, jika hanya hasil sitologi positif maka diklasifikasikan stage IIIB (T4) tetapi bila hasil histologi biopsi pleura yang positif maka diklasifikasikan stage IV (M1=metastasis di pleura). Tetapi perbedaan itu tidak terlalu mempengaruhi prognosis dan penatalaksanaan meskipun kemungkinan untuk terjadi down staging pada IIIB masih mungkin terjadi setelah kemoterapi dilakukan >2 siklus. Staging KPKBSK berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan terbaru untuk pasien dengan efusi pleura adalah Stage IV.A.

5.    Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a.    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan EPG harus segera dilakukan sebagai terapi paliatif setelah diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera ini adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan kualiti hidup penderita. Pada pedoman penatalaksanaan KPKBSK menurut PDPI, EPG dengan cairan masif yang menimbulkan gejala klinis sehingga mengganggu kualiti hidup penderita maka dapat dilakukan torakosentesis berulang atau jika perlu dengan pemasangan water sealed drainage (WSD).
Pada kasus-kasus tertentu harus dilakukan pleurodesis yaitu dengan memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura. Intervensi bedah dilakukan jika semua usaha telah dilakukan dan gagal. Pada EPG yang tidak masif dan gejala klinis ringan terapi khusus tidak dibutuhkan. Efek terapi diharapkan timbul dari pemberian kemoterapi yang menjadi pilihan terapi kanker paru. Pilihan kemoterapi berdasarkan jenis sel kanker paru (KPKBSK atau KPKSK), stage penyakit dan tampilan pasien. Kemoterapi adalah pilihan terapi dengan tujuan paliatif untuk KPKSK dan KPKBSK stage IIIB dan IV. Jika EPG disebabkan tumor lain di luar paru maka penatalaksanaan EPG hanya untuk mengatasi masalah klinis di paru yang ditimbulkan. Tindakan yang dilakukan sama dengan penatalaksanaan EPG masif pada kanker paru. Sedangkan jika EPG dengan klinis ringan terapi berdasarkan tumor primer penyebab. Alur penatalaksanaan dapat dilihat pada gambar :
Volume cairan yang harus dikeluarkan saat torakosentesis pada EPG massif tidak baku untuk semua kasus, untuk memutuskan jumlah cairan yang akan dikeluarkan penting diperhatikan reaksi tubuh pasien, umumnya tidak dianjurkan mengeluarkan > 1.500 ml satu kali punksi untuk mencegah terjadi syok karena hipovolemik mendadak dan/ atau reaksi pemutaran organ mediastinum (jantung). Pengosongan dalam jumlah banyak dan tiba-tiba juga dapat menyebabkan terjadi peningkatan permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru reekspansi. Demikian juga pada kondisi jika harus dilakukan pemasangan WSD, pada awalnya dilakukan pengaliran secara bertahap dengan jumlah 100-300 ml per 4 jam sampai terjadi produksi harian yang stabil pada posisi WSD terpasang dan aliran tetap terbuka. Rekomendasi dari BTS tentang torakosentesis pada EPG; melakukan punksi berulang untuk mengatasi sesak napas dan WSD hanya dianjurkan bila direncanakan akan dilakukan pleurodesis untuk mencegah terjadi rekurensi. Pada kondisi cairan yang terus diproduksi dilakukan usaha untuk mengurangi produksi cairan dengan target sel tumor yang ada di rongga pleura (kemoterapi intrapleura). Biasanya dilakukan setelah volume cairan yang diproduksi sudah tidak terlalu banyak (< 400 ml/hari). Jenis obat yang sering digunakan untuk tujuan itu adalah bleomisin dengan dosis 45-60 mg/kali atau adriamisin 45 mg/kali.

b.   Penatalaksanaan Keperawatan
Perawatan WSD mempunyai tujuan untuk menghindari adanya komplikasi dan meningkatkan pengembangan paru secara optimal (Muttaqin. A, 2008). Pada asuhan keperawatan klinik perawat sering melakukan perawatan WSD pada berbagai pasien yang mempunyai masalah pada rongga thorax. Kondisi ini memberikan dampak terhadap semakin komprehensifnya peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mempunyai masalah pada ekspansi paru, sehingga diperlukan perawat yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan keperawatan.
Pasien yang dipasang selang WSD berarti mempunyai masalah dengan ekspansi paru, baik karena penyakit efusi pleura, hemothoraks pneumotoraks maupun empiema. Pelaksanaan perawatan WSD sangat penting di mana dalam prosesnya bertujuan agar paru yang mengalami kolaps dapat mengembang kembali. Bila perawatan WSD tidak optimal akan menyebabkan pengembangan paru menjadi lambat, hari rawat menjadi panjang dan akan menambah biaya perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit. Lebih jauh bisa berakibat fatal dan akan membahayakan jiwa pasien di mana paru menjadi kolaps sehingga terjadi gagal napas dan dapat menyebabkan kematian.
1).      Persiapan Alat
a)      Satu buah meja dengan satu set bedah minor
b)      Botol WSD berisi  larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% dan  ujung selang terendam sepanjang dua cm.
c)      Kasa steril dalam tromol
d)     Korentang
e)      Plester dan gunting
f)       Nierbekken/kantong balutan kotor
g)      Alkohol 70%
h)      Bethadin 10%
i)        Handscoon steril

2).      Persiapan Pasien dan Lingkungan
a)      Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
b)      Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
c)      Membebaskan pakaian pasien bagian atas
d)     Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
e)       Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
3).      Pelaksanaan Perawatan WSD
a)         Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
b)        Membuka set bedah minor steril
c)         Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati,    balutan kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
d)        Mendisinfeksi luka dan selang dengan bethadin 10% kemudian dengan alkohol 70% .Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya   kemudian diplester
e)         Selang WSD diklem
f)         Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
g)        Klem selang WSD dibuka
h)        Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk efektif. Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD.
i)           Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien dalam posisi yang paling nyaman
j)          Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi kembali
k)        Membuka handscoon dan mencuci tangan
l)          Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.

4).      Evaluasi Pelaksanaan WSD
 Evaluasi keadaan umum :

o   Observasi keluhan pasien

o   Observasi gejala sianosis

o   Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada

o   Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD

o   Observasi tanda-tanda vital.


  

 Evaluasi ekspansi paru meliputi :

o   Melakukan anamnesa

o   Melakukan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD

o   Melakukan Palpasi  paru setelah selesai melakukan perawatan WSD

o   Melakukan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD

o   Melakukan Auskultasi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD

o   Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan  sebelum selang WSD di lepas.


 Evaluasi WSD meliputi :

o   Observasi undulasi pada selang WSD

o   Observasi fungsi suction countinous

o   Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat

o   Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD

o   Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2  cm di bawah air. Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
o   Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh

6.    Komplikasi
Efusi pleura adalah kondisi yang membahayakan fungsi paru-paru dengan mencegah perluasan penuh pernafasan. Efusi yang telah berlangsung lama dapat secara permanen menurunkan fungsi paru; itu mungkin terkait dengan jaringan parut paru-paru. Efusi jika tidak diawetkan dan diijinkan berdiri untuk waktu yang lama bisa terinfeksi yang mengarah ke empiema (akumulasi nanah). Komplikasi pada efusi pleura meliputi : emboli paru, edema paru, pneumothoraks dan hemathoraks, pendorongan mediastinum infark paru, pleura shok.

B.  Laporan Teoritis Asuha Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Data Awal
1).      Riwayat Kesehatan Sekarang
yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger.
2).      Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat kesehatan masa lalu : pernah mengalami radang paru-paru (pneumonia), meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).
3).      Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.
b.   Pola Pengkajian Gordon
1).      Pola Persepsi Kesehatan atau Penanganan Kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
2).      Pola Nutrisi Metabolik
Perubahan pola makan dan minum karena pada pasien dengan empiema sering tidak nafsu makan karena terganggu oleh sesak dan batuk.
3).      Pola Eliminasi
Defekasi berkurang karena asupan nutrisi berkurang
4).      Pola Aktivitas dan Latihan
Pasien tidak bisa beraktivitas karena mengalami dispnea pada saat beraktivitas
5).      Pola tidur dan istirahat
Pasien mengalami ganguan pada tidur karena batuk dan sesak yang dialami pasien
6).      Kognitif Persepsi
Pada pasien biasanya tidak mengalami kelainan
7).      Persepsi dan Konsep Diri
Mengkaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya. Persepsi dan cara memandang diri yang salah akan menjadi stressor dalam kehidupan klien. Misalnya : klien takut dijauhi orang lain karena penyakitnya
8).      Peran Hubungan
Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung. Mengakaji bagaimana cara klien menyasuaika kondisinya dengan orang lain seperti lingkungan keluarga, masyarakat ataupun lingkungan kerja serta perubahan peran yang terjadi setelah klien mengalami serangan efusi pleura
9).      Seksualitas
Pada klien efusi pleura, intoleransi aktivitas klien di batasi, sehingga klien tidak dapat berhubungan intim.
10).  Koping toleransi
Adanya perasaan stres karena penyakit yang diderita sehingga dukungan keluarga sangat berarti untuk mengatasi stres
11).  Nilai Kepercayaan
ketaatan klien terhadap agama.
c.    Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien yaitu
·      Keadaan umum : demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan, gelisah, penurunan BB, dispnea, lemah.
·      Pemeriksaan TTV   
RR : >24 x/mnt,     Nadi : >100 x/mnt,      
TD : >120/70 mmHg       Suhu : >36,5 oC
·      Pemeriksaan kepala dan leher : batuk produktif, pernafasan cuping hidung
·      Pemeriksaan sistem pernafasan
·         Inspeksi : terlihat ekspansi dada simetris, tampak sesak nafas, tampak penggunaan otot bantu nafas
·         Palpasi : vocal premitus menurun
·         Perkusi : pekak dan redup
Adapun suara-suara yang dijumpai pada perkusi adalah :
Sonor : suara perkusi jaringan yang normal.
Redup : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya di daerah paru-paru pada pneumonia.
Pekak : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada perkusi daerah jantung, perkusi daerah hepar.
Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong, misalnya daerah caverna paru, pada klien asthma kronik.
·         Auskultasi : bunyi nafas menghilang atau tidak terdengar diatas yang terkena.
Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada klien pneumonia, TBC.
Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada edema paru.
Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
Pleura Friction Rub ; bunyi yang terdengar “kering” seperti suara gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada klien dengan peradangan pleura.
·      Pemeriksaan abdomen : peristaltic usus < 8 x/mnt

2.    Perumusan Diagnosa NANDA, NIC, dan NOC
No
Diagnosa
NOC
NIC
1
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas b/d peningkatan produksi sputum
(NANDA-00031)
Status Pernafasan: Kepatenan Jalan Nafas
Definisi : Saluran trakeobronkial yang terbuka dan lancar untuk pertukaran udara.
Indikator : (1 deviasi berat dari kisaran normal – 5 tidak ada deviasi dari kisaran normal)
·      Frekuensi pernafasan
·      Irama pernafasan
·      Kedalaman inspirasi
·      Kemampuan untuk mengeluarkan sekret
·      Suara nafas tambahan
·      Akumulasi sputum
·      batuk

Tingkat Kecemasan
Definisi : Keparahan dari tanda-tanda ketakutan, ketegangan, atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang tidak dapat diidentifikasi,
Indikator : (1 Berat – 5 Tidak ada)
·      tidak dapat beristirahat
·      distress
·      perasaan gelisah
·      otot tegang
·      wajah tegang
·      kesulitan berkonsentrasi
·      rasa takut disampaikan secara lisan
·      peningkatan frekuensi nadi, pernafasan
Manajemen Jalan Nafas
Aktivitas-aktivitas:
·      Buka jalan nafas dengan teknik  chin lift atau jaw thrust, sebagaimana mestinya
·      Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
·      Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien untuk memasukkan alat membuka jalan nafas
·      Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk atau menyedot lendir
·      Motivasi pasien untuk bernafas pelan-pelan, dalam, dan batuk
·      Instruksikan bagaimana bisa agar bisa melakukan batuk efektif
·      Auskultasi suara nafas, catat area ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan
·      Posisikan untuk meringankan sesak nafas
·      Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya

Pengurangan Kecemasan
Aktivitas-aktivitas:
·      Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
·      Nyatakan dengan jelas harapan dan perilaku klien
·      Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang akan dirasakan yang mungkin akan dialami klien selama prosedur
·      Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan, dan prognosis
·      Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
·      Dengarkan klien
·      Dorong verbalisasi perasaan, persepsi, dan ketakutan
·      Bantu klien mengindentifikasi situasi yang memicu kecemsan
·      Kontrol stimulus untuk kebutuhan klien secara tepat
·      Kaji untuk tanda verbal dan nonverbal kecemasan
2
Ketidakefektifan pola nafas b/d dispneu, ansietas, posisi tubuh
Status Pernafasan
Definisi: Proses keluar masuknya udara keparu-paru serta pertukaran karbondioksida dan oksigen diambil
Indikator: (1 Deviasi berat dari kisaran normal – 5 tidak ada deviasi dari kisaran normal)
·      Frekuensi pernafasan
·      Irama pernafasan
·      Kedalaman inspirasi
·      Suara auskultasi nafas
·      Volume tidal
·      Kapasitas vital

Respon Penyapihan Ventilasi Mekanik: Dewasa
Definisi: Penyesuaian pernafasan dan psikologis untuk pengangkatan ventilasi mekanik progresif
Indikator: (1 Deviasi berat dari kisaran normal – 5 tidak ada deviasi dari kisaran normal)
·      Tingkat pernafasan spontan
·      Irama pernafasan spontan
·      Kedalaman pernafasan spontan
·      Apikal denyut jantung apikal
·      Saturasi oksigen
·      Arteri pH
Monitor Pernafasan
Aktivitas-aktivitas:
·      Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas
·      Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot bantu nafas,
·      Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok atau mengi
·      Monitor pola nafas
·      Monitor saturasi oksigen
·      Pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif dengan mengatur alarm pada pasien berisiko tinggi sesuai dengan prosedur tetap yang ada
·      Monitor kelelahan otot-otot diapragma dengan pergerakan parasoksial
·      Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara nafas tambahan
·      Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan auskultasi suara nafas ronki di paru.

Terapi Oksigen
Aktivitas-aktivitas:
·      Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat
·      Pertahankan kepatenan jalan nafas
·      Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui sistem humidifier
·      Monitor aliran oksigen
·      Monitor efektifitas terapi oksigen dengan tepat
·      Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi oksigen
·      Monitor kecemasan pasien yang berkaitan dengan kebutuhan mendapatkan terapi oksigen



3
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler aveolar
(NANDA-00030)
Respon Ventilasi Mekanik: Dewasa
Defenisi: Pertukaran alveolar dan perfusi jaringan secara efektif  yang didukung oleh ventilasi secara mekanik
Indikator: (1 Deviasi berat dari kisaran normal – 5 Tidak ada deviasi dari kisaran normal)
·      Tingkat pernafasan
·      Irama pernafasan
·      Kedalaman inspirasi
·      Kapasitas inspirator
·      Volume tidal
·      Kapasitas tidal
·      Perfusi jaringan perifer

Status Pernafasan: Pertukaran Gas
Defenisi: Pertukaran karbondioksida dan oksiden di alveli untuk mempertahankan konsentrasi darah arteri.
Indikator: (1 Deviasi berat dari kisaran normal – 5 tidak ada deviasi dari kisaran normal)
·      Tekanan parsial oksigen di dalam darah (PaO2)
·      Tekanan parsial karbondioksida di darah arteri (PaCO2)
·      Saturasi oksigen
·      Keseimbangan ventilasi dan perfusi


Manajemen Asam Basa
Aktivitas-aktivitas:
·      Pertahankan kepatenan jalan nafas
·      Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yang adekuat
·      Pertahankan kepatenan akses selang IV
·      Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, dan HCO3 dalam rangka mempertimbangkan jenis ketidakseimbangan yang terjadi
·      Pertahankan pemeriksaan berkala terhadap pH arteri dan plasma elektrolit untuk membuat perencanaan perawatan yang akurat
·      Monitor gas arteri, level, serta urin elektrolit jika diperlukan
·      Monitor penyebab potensial sebelum memberikan perawatan ketidakseimbangan asam basa, dimana akan lebih efektif untuk merawat penyebabnya
·      Monitor intake dan output
·      Berikan terapi oksigen dengan tepat

Monitor Pernafasan
Aktivitas-aktivitas:
·      Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas
·      Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot bantu nafas,
·      Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok atau mengi
·      Monitor pola nafas
·      Monitor saturasi oksigen
·      Pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif dengan mengatur alarm pada pasien berisiko tinggi sesuai dengan prosedur tetap yang ada
·      Monitor kelelahan otot-otot diapragma dengan pergerakan parasoksial
·      Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara nafas tambahan
·      Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan auskultasi suara nafas ronki di paru.








Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth.(2000).Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Dochterman, J. M., & Bulechek,G. M. (2014). Nursing Interventions Classifcation(NIC). America : Mosby Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., & Swanson, L. (2014) Nursing Outcomes Classsifcation (NOC). America : Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda International. (2015). Diagnosa Keperawatan : defenisi dan klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC.
Price, S.A .(1995). Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC.
Price, A & Wilson, M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Wilkinson, J. M. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC.


No comments:

Post a Comment